top of page

Au Pair Mira : Menyeberang Jalan Sambil Menutup Mata di Swedia?

Updated: Feb 11, 2019


Author : Mira Wulandari



Bandung, 8 Juni 2018​ Tidak pernah sebelumnya saya menyangka akan tinggal di negara maju dengan menjadi seorang au pair. Ketika masih duduk di bangku kuliah saya berkata kepada teman saya pada setiap kesempatan jikalau saya yakin akan bisa tinggal di negara maju. Mulailah saya membekali diri dengan berbagai informasi beasiswa luar negeri. Setelah dua kali pengajuan beasiswa saya di tolak, saya menjadi semakin minder. Apa karena kemampuan akademik saya kurang? Apa karena kemampuan bahasa Inggris saya pas pasan? Atau malah yang paling saya takutkan, karena saya lulusan kampus kecil? Pupuslah sudah impian saya untuk tinggal di negara maju.

Setelah bergabung dengan salah satu grup travelling, saya mengenal apa itu au pair. Semua di mulai ketika saya datang ke toko buku, dimana ada dua buku di bagian wisata yang sangat menyita perhatian saya, Keliling Eropa Dengan Menjadi Babysitter dan Keliling Amerika Sebagai Au Pair. Mulailah riset saya tentang program ini dengan bertanya kepada para ‘alumni’ yang kebanyakan waktu itu menjadi Au Pair di Belanda. Mereka memberikan rekomendasi beberapa agen au pair di Indonesia.

Ketika itu saya bekerja sebagai seorang guru TK yang honornya tidak seberapa. Sedangkan biaya agen au pair sangat mahal di kantong saya. Yang termurah kata alumni 6 juta rupiah, itu pun dulu tahun 2008. Ada lagi agen yang mengirimkan au pair ke Jerman, mereka mematok harga seharga satu unit motor, itu sudah termasuk kursus bahasa dan tes bahasa Jerman. Oh tidak! Saya tidak memiliki uang sebanyak itu dan saya sudah tidak ingin belajar bahasa.

Lalu saya menemukan agensi yang mengirimkan au pair ke Swedia. Harganya tidak mahal dan persyaratannya yang super mudah, dan yang pasti tidak membutuhkan sertifikat bahasa. Well, pada waktu itu saya ‘gambling’ dengan pilihan Swedia, karena saya tidak mengetahui apapun tentang negara tersebut. Hanya dalam hitungan minggu, tepatnya 3 minggu setelah saya mendaftar saya langsung mendapatkan host family di Swedia, tepatnya di kota kecil Eskilstuna yang berjarak 1 jam dari Stockholm, dan juga host family saya ini adalah keluarga muslim. Yeah, everything sound perfect.

Setelah dua bulan mengurus visa, terbanglah saya ke Swedia, perjalanan  long houl pertama saya, 14 jam tepatnya di dalam pesawat. Tidak ada perasaan lain yang terlintas selain excited ketika menginjakan kaki untuk pertama kalinya di Swedia. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hingga masa tinggal saya di Swedia selama satu tahun telah berakhir. Dan di sini saya ingin membagikan pengalaman saya selama menjadi au pair di Swedia kepada para anak muda Indonesia yang berencana menjadi au pair. Tidak hanya kegembiraan yang saya dapatkan di sana, kesedihan juga pasti ada, maka dari itu saya rangkum pengalaman saya sebagai berikut. Suka sebagai Au pair:Saya tidak pernah tau tentang Swedia sebelumnya. Tapi setelah tinggal di sana saya amat sangat menyukai Swedia. Jika sedang mengambil liburan ke negara eropa lainnya, saya selalu ingin kembali ke Swedia. Swedia adalah negara terbaik untuk membesarkan anak. Swedia adalah negara yang memanusiakan manusianya. Swedia adalah ‘rumah’ untuk berbagai brand ternama dunia, sebut saja Volvo, Oriflame, Skype, H&M, Spotify, IKEA bahkan grup music ABBA yang sangat melegenda dan penghargaan dunia Nobel berasal dari Swedia.Dengan menjadi au pair saya dapat memperluas jaringan pertemanan internasional. Teman dekat saya dari berbagai macam negara, bahkan salah satunya adalah orang Swedia asli yang terkenal susah untuk di dekati.Kemampuan bahasa Inggris saya berkembang dengan sangat pesat.Saya memiliki kemampuan bahasa baru, bahasa Swedia. Walaupun masih level dasar, tapi saya mulai mengerti apa yang orang ucapkan, saya bisa menggunakan bahasa Swedia dalam kalimat sederhana, dan saya mampu membaca bahasa Swedia plus bahasa Norwegia plus bahasa Denmark, karena memang bahasa mereka mirip sekali.Dengan menjadi au pair saya bisa tinggal di negara maju dengan biaya yang amat sangat murah. Tempat tinggal dan makan sudah pasti terjamin, dan pasti ada uang saku untuk bersosialisasi ataupun membeli satu stel baju merek Zara :PMempunyai keluarga baru yang bahkan menyayangi saya lebih dari keluarga saya sendiri (mungkin :D). Bayangkan ketika saya akan berangkat berlibur subuh hari, hostmom saya sibuk menyiapkan sandwich untuk bekal saya, memakaikan jaket dan ransel saya, belum selesai sampai situ, dia berlarian mengejar saya untuk memberikan sebuah pisang dan jeruk. Sooooo sweet.Last but not least, bisa mengunjungi beberapa negara eropa dengan murah. Yang kalau kita lakukan dari Indonesia akan menguras kantong yang dalam. ​Namun juga ada saat saya merasakan "duka" sebagai Au pair:Culture Shock. Tentu saja culture shock ini akan menghilang seiring berjalannya waktu. Kuncinya adalah be open minded.Homesick. Terlebih ketika perayaan hari besar. Seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan lainnya.Terkadang kesepian walau memiliki banyak teman. Di samping perbedaan budaya dengan teman intenasional, perbedaan bahasa juga menjadi factor kenapa sulitnya ‘curhat’ kepada teman internasional ini.Au pair berada di grey zone alias zona abu abu. Pekerja bukan, pelajar pun bukan. Terlebih tempat tinggal kita adalah tempat kerja kita. Dimana sulit sekali membedakan kapan sedang bekerja, kapan sedang bersantai.Sebagai orang asia, kita pasti sulit bilang TIDAK, begitupun saya. Ketika hostfam minta ini saya pasti bilang Yes atau Ok. Ketika hostfam minta itu saya pasti bilang Yes atau Ok. Sering sekali ingin bilang No, tapi tidak enak, ya masa sudah tinggal gratis eh host minta tolong gitu aja masa menolak. Tapi setelah nya pasti mengeluh, ini kan bukan pekerjaan au pair, ini kan tidak ada di kontrak, ini kan menjadikan saya bekerja over time, dan sebagainya.Saya tinggal di kota kecil, walaupun tidak terlalu jauh dengan Stockholm, tapi tiket kereta termasuk tiket kereta antar kota yang harga nya jauh lebih mahal jika di banding kereta local kota Stockholm. Tidak banyak hal yang dapat dilakukan, kesepian dan kebosanan pun melanda.Bagaimanapun juga, menurut saya adalah cara mengatasi kesulitan kesulitan tersebut:Sebelum datang ke Swedia saya sudah mempersiapkan mental saya. Ok, ini kan negara bebas, jangan aneh kalau lihat orang ciuman di mana saja, jangan aneh jika melihat orang memakai bikini bahkan telanjang di taman kota. Itu lah yang selalu saya katakan kepada diri saya sendiri. Dan kita memang harus berpikiran terbuka agar bisa meredam culture shock.Jikalau homesick melanda, telepon lah teman atau keluarga di Indonesia. Jaringan internet di Swedia sangat bagus, tidak usah kuatir. Jika kamu kangen masakan Indonesia dengan citarasa umami nya, datang lah ke Asian Mart, di setiap kota pasti akan ada toko asia. Yang pasti di sana selalu ada Indomie :DJika kamu ingin memiliki teman dari Indonesia dan sesama au pair agar bisa bercerita dengan bebas, hubungi agensi kamu, mereka pasti memiliki data siapa saja au pair Indonesia yang terdekat dengan kota tempat kamu tinggal. Atau datang saja ke wisma Indonesia, tanyakanlah ke sana, apakah ada au pair Indonesia lainnya, dan minta lah kontaknya.Sebenarnya tidak mudah menjadi au pair. Dibutuhkan tanggung jawab yang sangat besar. Kita datang ke negara tersebut bukanlah untuk berlibur. Kita harus sadar kalau kita juga ‘bekerja’ di rumah hostfam, tapi kita juga harus tau apa hak dan kewajiban kita sebagai au pairBelajarlah untuk berkata TIDAK. Apalagi jika host family meminta melakukan hal yang sangat keterlaluan. Tanyakan kepada agensi apa apa saja yang wajar dikerjakan seorang au pair. Dan juga jangan takut untuk mengutarakan pendapat dan isi hati kepada host family. Karena mereka sesungguhnya sangat menghormati pendapat kita. Yang salah adalah jika kita diam saja, maka host family akan beranggapan kalau kita ok ok saja melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan pekerjaan kita.Yang penting ketika sedang interview dengan calon host family adalah menanyakan dimana mereka tinggal, akses kendaraannya bagaimana, lingkungannya bagaimana. Lalu lihat di peta, apakah itu kota kecil terisolir dari dunia luar atau kota besar. Lalu kembalikan pada diri kalian sendiri, apakah kalian sanggup tinggal di kota kecil atau hanya ingin tinggal di kota besar. Karena program ini adalah once in a lifetime experience, be wise saat memilih host family. Sekembalinya saya ke Indonesia, saya merasakan reverse culture shock yang cukup berat. Dimulai dari cuaca yang panas dengan tingkat kelembapan yang tinggi, membuat saya menangis ketika pertama turun dari pesawat di Bandara Soekarno Hatta karena belum apa apa, baju saya sudah basah karena keringat. Perut saya tidak bisa menerima makanan Indonesia yang kaya bumbu. Teman teman saya yang sudah berbeda pendapat, atau saya bilang mereka close minded. Dan yang paling parah adalah ketika saya ingin menyebrang jalan sangat sulit sekali, jarang sekali pengendara yang memberikan saya jalan, lain halnya di Swedia, boleh dikata jika saya menyebrang jalan sambil menutup matapun tidak akan ada yang menabrak. Hal positif yang saya bawa sekembalinya dari Swedia adalah saya menjadi orang yang lebih mandiri. Tepat waktu di mana pun dan kapanpun. Disiplin juga bertanggung jawab, terlebih dengan pekerjaan dimana saya bekerja dengan sungguh sungguh, tidak hanya gaji buta. Juga menjadi orang yang open minded dan menghargai perbedaan.



Dapat di simpulkan, saya tidak menyesal pernah menjadi seorang au pair, bahkan jika bisa saya ingin mengulanginya. Ini adalah kesempatan emas untuk anak muda Indonesia menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik, di samping jalan jalan murah. Sekali lagi, this is once in a lifetime experience!

Mira, Au Pair in Sweden 2015-2016

0 comments
bottom of page